Semacam Opini

Bermain-main dengan ‘Cultural Studies’, bukan ‘The Studies of Culture’

Oleh: Temu Giring Kupretz

Membolak-balik dua kata, ‘study’ dan ‘culture’ mungkin perkara sepele, tapi itulah titik awal usaha kita untuk memahami apa sih sebenarnya ‘Cultural Studies’ (CS). Berangkat dari pemahaman tentang ‘culture’ ─ diterjemahkan sebagai budaya ─ yang diyakini menyeluruh dan menyentuh segala peri kehidupan manusia dalam aktifitasnya sehari-hari, maka CS mencoba untuk hadir menyapa seluruh fenomena kebudayaan. Tanpa harus terkungkung oleh pemetaan budaya yang dikotomis, CS mengingkari adanya batas-batas antara budaya adiluhung dengan budaya pop, budaya beradab dengan budaya berandalan, budaya tinggi dengan budaya picisan, demikian seterusnya.

Dengan demikian istilah CS tidak bisa dengan demikian saja disinonimkan dengan istilah ‘The Study of Culture’ (SC). Karena setiap CS merupakan SC, namun sebaliknya SC belum tentu CS, maka benar-benar terasa betapa besar luas cakupan dari CS itu sendiri. Sejak dulu, semenjak zaman Socrates, hingga Clifford Geertz, SC telah dipelajari, namun dengan asumsi sepihak bahwasanya terdapat sebuah standar kebudayaan. Apa yang tidak sesuai dengan standar kebudayaan itu bisa menjadi eksotis, bisa pula menjadi tak berarti sama sekali. Selanjutnya CS hadir untuk mengisi ruang-ruang kosong nan tak berarti yang ditinggalkan oleh SC. Ruang-ruang tersebutlah yang muncul karena adanya spesifikasi SC dalam wadah ilmu pengetahuan beserta melembaganya SC dalam institusi-institusi akademis.

Istilah CS ditengarai muncul pertama kali pada tahun 1964 di kalangan akademisi Universitas Brimingham bersamaan dengan didirikannya Center for Contemporary Cultural Studies (CCCS) oleh beberapa penggagas CS, semisal Richard Hoggart, Edward Thompson, Stuart Hall, Paul Willys, dan Raymond Williams. Semangat Marxian yang mereka bopong mendorong mereka untuk menganalisa kaitan antara budaya pop dengan kapitalisme. Budaya pop saat itu adalah budaya yang bagi SC adalah medan tak berarti. Salah kaprah pemahaman tentang budaya yang bahkan saat ini masih terasa adalah identifikasi antara kebudayaan dengan hal-hal yang bersifat kesenian. Kesalahan ini sebenarnya bukan bermula dari pemahaman yang sama sekali salah. Kebudayaan yang menyentuh setiap sisi kehidupan manusia di seluruh penjuru dunia terkadang memiliki kecenderungan yang sama. Perbedaan yang cukup mencolok terlihat dari hal-hal yang berbau kesenian. Maka kebudayaan yang menjadi medan pembahasan adalah adalah kesenian yang muncul dari pusat pandang sebagai sebuah ukuran dan kesenian yang terlihat di ruang pandang sebagai objek. Sementara seni yang muncul di pusat pandang namun tak sesuai dengan ukuran inilah yang akhirnya menjadi tidak berarti.

Dari Inggris inilah, CS berusaha mendudukkan pemahaman akan budaya sebagai mana mestinya, sambil mengakomodir kenyataan adanya fenomena budaya yang terpinggirkan yang ternyata kadang-kadang merupakan menjadi medan kekuasaan kapitalisme. CS menelisik pemaknaan terhadap tanda-tanda yang diproduksi oleh kapitalisme sebagai alat hegemoni. Lebih dari itu, kalangan pegiat CS di Amerika mencoba untuk kritis terhadap logika Marxian dengan menghindari aktifitas searah. Para penikmat budaya pop dianggap memiliki kesadaran penuh dalam setiap aktifitas konsumtifnya, dalam memilih, mengunyah, dan menelan setiap produk budaya pop tanpa harus dicurigai sebagai dikuasai oleh penguasa makna. Berbagai kecenderungan CS ini meneguhkan semangat intelektual Jerman dengan Franfurt School-nya yang membawa tren semangat kritik sastra. CS juga melanjutkan semangat intelektual Prancis yang mengusung metodologi semiotika dan psikoanalisa.

Dalam bukunya, ‘Introducing Cultural Studies’, Ziauddin Sardar mencirikan CS sebagai berikut; pertama, menguji adanya relasi kuasa dalam setiap aktifitas kebudayaan. Kedua, memandang fenomena kebudayaan secara menyeluruh plus mencermati setiap konteks sosial politik yang menyelubunginya. Ketiga, tidak hanya berhenti pada tataran teoritis namun lebih dari itu mencoba untuk melakukan aksi pragmatis yang solutif. Keempat, selalu berusaha untuk mencairkan jarak antara dua teori pengetahuan, yaitu teori pengetahuan lokal, dan teori pengetahuan universal. Kelima, senantiasa berusaha untuk melakukan evaluasi terhadap kehidupan masyarakat modern guna memposisikan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya.

Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan dan dunia akademik, CS berusaha untuk mengambil sikap multidisiplin, interdisiplin, bahkan antidisiplin. Kecendurungan multidisiplin ditunjukkan dengan digunakannya berbagai disiplin ilmu semacam antropologi, etnologi, sosiologi, psikologi, filsafat, sejarah, ilmu komunikasi, kritik sastra, dan berbagai ilmu sosio-humaniora lain dengan berbagai variannya. Interdisiplin karena CS terbuka untuk melumat segala disiplin ilmu tersebut dalam sebuah analasis terhadap objek tertentu. Sementara kecenderungan antidisiplin ditunjukkan dengan keengganan untuk terperosok dalam pemilahan, klasifikasi, dan spelisasi ilmu pengetahuan.

Dari pemahaman tersebut di atas CS nampak sebagai sebuah metodologi yang longgar karena tak terikat dengan disiplin ilmu tertentu, sekaligus luas karena tidak mengenal sekat-sekat kebudayaan sebagai medan studinya. Setiap orang menjadi sah-sah saja untuk menggunakan analisis psikologi dalam menyoal permasalahan tren komik manga misalnya. Tidak menjadi masalah pula ketika nama Pierre Bordieu disandingkan dengan nama Chester Bennington. Begitu luasnya cakupan CS, begitu beraneka ragamnya senjata analisanya, mencoba mengorek lebih dalam relasi kuasa dalam setiap sudut ruang kehidupan manusia.

Dalam prakteknya, CS identik dengan studi media, cinema studies, studi gender, studi gay-lesbian, atau studi yang bersifat lokalitas semacam studi post-kolonial, studi Islam, studi Asia, Black Studies dan sebagainya. Identifikasi tersebut sangat wajar mengingat dalam lokalitas dan komunitas tertentulah relasi kuasa nampak secara kentara.

Nampaknya dalam usaha untuk membangun intelektualitas yang muncul dari hal-hal yang ringan, CS patut untuk dicoba. Dengan kenyataan bahwa CS merupakan sebuah metodologi yang gurih, renyah, mudah dicerna, namun sangat gampang diperoleh bahannya, dan sangat mudah dibuat. Semangat intelektual demi kesetimbangan kehidupan manusia mungkin sekali muncul dari aktifitas yang mungkin saja bisa dikatakan sebagai ‘bermain-main’.

Read more!

posted by The Kutu Kupretz @ 9:38 AM, ,